Dunia perbankan Indonesia mulai menapak pada prinsip syariah, seiring dengan pembukaan bank muamalat pada November Tahun 1991. istilah syariah sendiri dalam Pasal 1 ( angka 13) Undang-Undang No. 10 tahun 1998, tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan,disebutkan bahwa : “Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara Bank dengan pihak lain untuk menyimpan dana dan atau pembiayaan kegiatan badan usaha, atau kegiatan lainya yang sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan dengan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli dengan memperoleh keuntungan (murabahah) atau
pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).”
Hal mana mengenai pembahasan syariah tentang prinsip bagi hasil tercermin dalam salah satu ayat Al qur’an yaitu: “Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang bersarikah itu sebagian mereka berbuat zhalim kepada sebagian lain kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh” (QS.Shad:24)
Membahas tentang ruang lingkup syariah kita tidak dapat melepas sumber fundamen dari syariah itu sendiri yaitu Al-qur’an dan Al-Hadits. Aturan syariah diambil,didasarkan atas firman Allah dan dijelaskan dalam Khadis nabi serta beberapa ijtihad para Alim ulama. Kemudian untuk menguatkan landasan secara structural perundang-undangan pemerintah mengeluarkan peraturan perundang–undangan sebagaimana disebutkan diatas dan beberapa peraturan penunjang lain. Jadi perangkat hukumnya sudah komplit dan siap untuk dilaksanakan pada suatu perbuatan hukum yang berkaitan dengan perbankan syariah ini.
Secara umum menabung di bank syariah dengan yang belaku di bank konvensional hampir tidak ada perbedaan. Hal ini karena, baik di bank syariah maupun bank konvensional diharuskan mengikuti aturan
teknis perbankan secara umum. Akan tetapi bila diamati lebih dalam, terdapat beberapa perbedaan mendasar di antara keduanya. Perbedaan pertama terletak pada akadnya. Pada bank syariah, semua transaksi harus berdasarkan akad yang dibenarkan oleh syariah. Dengan demikian, semua transaksi itu harus mengikuti kaidah dan aturan yang berlaku pada akad-akad muamalah syariah. Pada bank konvensional, transaksi pembukaan rekening, baik giro, tabungan maupun deposito, berdasarkan perjanjian titipan, namun prinsip titipan ini tidak sesuai dengan aturan syariah, misalnya wadi’ah, karena dalam produk giro, tabungan maupun deposito, menjanjikan imbalan dengan tingkat bunga tetap terhadap uang yang disetor. Perbedaan kedua terdapat pada imbalan yang diberikan. Bank konvensional menggunakan konsep biaya (cost concept) untuk menghitung keuntungan. Artinya, bunga yang dijanjikan di muka kepada nasabah penabung merupakan ongkos atau biaya yang harus dibayar oleh bank. Oleh karena itu bank harus “menjual” kepada
nasabah lain (peminjam) dengan biaya bunga yang lebih tinggi. Perbedaan antara keduanya disebut spread yang menandakan apakah perusahaan tersebut untung atau rugi. Bila spread-nya positif, di mana beban bunga yang dibebankan kepada peminjam lebih tinggi dari bunga yang diberikan kepada penabung, maka dapat dikatakan bahwa bank mendapatkan keuntungan, dan sebaliknya juga benar.
Sedangkan bank syariah menggunakan pendekatan profit sharing, artinya dana yang diterima bank disalurkan kepada pembiayaan. Keuntungan yang didapat dari pembiayaan tersebut dibagi dua, untuk
bank dan untuk nasabah, berdasarkan perjanjian pembagian keuntungan di muka.
Perbedaan ketiga adalah sasaran kredit / pembiayaan. Para penabung di bank konvensional tidak sadar uang yang ditabung dipinjamkan untuk berbagai bisnis, tanpa memandang halal-haram bisnis tersebut. Sedangkan di bank syariah, penyaluran dan simpanan dari masyarakat dibatasi oleh prinsip dasar, yaitu prinsip syariah Artinya bahwa pemberian pinjaman tidak boleh ke bisnis yang haram seperti, perjudian, minuman yang diharamkan, pornografi dan bisnis lain yang tidak sesuai dengan syariah.
Prinsip syariah tidak hanya terbatas pada konteks perbankan, melainkan juga meliputi berbagai kegiatan ekonomi dan investasi, termasuk di pasar modal dan asuransi.Islam sebagai agama memuat ajaran yang bersifat universal dan komprehensip. Dengan mengkaji berbagai ilmu yang berkaitan dengan prinsip syariah dijadikan dasar dalam perbankan saat ini, bank secara ekonom merupakan lembaga keuangan yang surplus dana. Dengan adanya surplus dana memungkinkan bank untuk melakukan banyak kegiatan ekonomi guna
menyalurkan dananya. Syariah telah mempunyai aturan yang jelas tentang system dan cara melakukan kegiatan ekonomi. Tentunya perlu pembelajaran yang menyeluruh baik untuk pihak yang surplus dana
maupun pihak yang minus dana, dengan pemahaman yang mendalam pengembangan bank syariah secara khusus dan ekonomi syariah secara umum akan cepat diterima untuk semua lapisan masyarakat.
Untuk mengatasi kendala kendala dalam pengembangan perbankan syariah pemerintah telah mengeluarkan peraturan yang menyangkut Bank syariah antara lain Undang–undang No.10 Tahun 1998 sebagai perubahan Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan, serta Undang–Undang No.3 Tahun 2004 tentang perubahan Undang–Undang No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagai pijakan dan payung hukum. Guna memberikan peluang yang lebih besar pendirian kantor kantor bank syariah baru oleh bank umum konvesional melalui pembukaan kantor cabang atau kantor dibawah kantor cabang konvensional menjadi kantor cabang pembantu konvesional yang telah membentuk unit syariah menjadi kantor cabang syariah.Dalam beberapa tahun terakhir, perbankan syariah terus menunjukkan perkembangan yang lebih cepat dari perkiraan. Bank-bank konvensional mulai berlomba membuka divisi syariah karena melihat minat masyarakat yang demikian tinggi pada produk perbankan syariah. Hal yang mendorong kalangan perbankan
mencoba peruntungannya di lahan ini tak lain adalah besarnya pangsa pasar. Pada saat krisis ekonomi dan moneter 1997-1998 perbankan nasional mengalami kesulitan. Tingkat suku bunga yang tinggi menyebabkan biaya modal sektor usaha tinggi pula sehingga berujung pada kemerosotan kemampuan usaha sektor produksi. Kualitas aset perbankan pun anjlok. Di sisi lain, sistem perbankan diwajibkan terus memberi imbalan kepada depositor sesuai dengan tingkat suku bunga yang berlaku di pasar. Daya saing sektor produksi yang rendah berdampak pula pada pengurangan peran sistem perbankan dalam menjalankan fungsinya sebagai intermediator kegiatan investasi.
Selama priode krisis tersebut bank syariah yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip bagi hasil dan bukan suku bunga mampu menunjukkan kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan bank-bank konvensional. Keadaan itu tercermin pada non performing finance (NPF) atau pembiayaan bermasalah yang rendah serta tak terjadi negative spreaddalam operasionalnya. Kenyataan tersebut dapat dipahami karena
tingkat pengembalian pada bank syariah tidak mengacu pada tingkat suku bunga dan akhirnya bisa menyediakan dana investasi dengan biaya modal lebih rendah kepada masyarakat.Tidak mengherankan
apabila bank syariah pada saat itu dapat menyalurkan dana ke sektor produksi dengan financing to deposit ratio (FDR) atau rasio pembiayaan dan simpanan berkisar 113%-117%.
Setelah lamban selama periode 1992-1998 pertumbuhan bank syariah rata-rata cukup tinggi, yakni di atas 70%. Tahun lalu bahkan tingkat pertumbuhannya mencapai 88,6%. Volume usaha hingga November 2004 tercatat Rp 14 triliun. Dengan tingkat pertumbuhan yang sama tahun ini volume usahanya diprediksi meningkat menjadi Rp 24 triliun. Dengan asumsi pertumbuhan tahun ini sama dengan tahun lalu pangsanya
terhadap perbankan nasional akan meningkat dari 1,1% menjadi 1,8%. Dana pihak ketiga (DPK) pada akhir 2005 diprediksi mencapai Rp 20 triliun dengan penyaluran pembiayaan senilai Rp 21 triliun. Hingga November 2004 tercatat DPK bank syariah senilai Rp 10,56 triliun dan jumlah pembiayaan yang disalurkan mencapai Rp 10,97 triliun. Dibandingkan dengan tahun 2003 angka pertumbuhan DPK dan pembiayaan luar biasa karena masing-masing meningkat 104,6% dan 100,8%. Rasio pembiayaan bermasalah atau non performing finance (NPF) per November 2004 sebesar 2,8% atau lebih rendah dari 3,4% pada November 2003. Financing to deposit ratio (FDR) atau rasio pembiayaan dan simpanan pada tahun lalu mencapai 104% yang menunjukkan fungsi intermediasi atau penghubung antara pemilik dana dan pihak yang membutuhkan dana berjalan sangat baik. Dari segi jaringan tahun lalu ada konversi 1 bank umum konvensional menjadi bank umum syariah dan pembukaan 7 unit usaha syariah (UUS) oleh bank umum konvensional serta 5 bank perkreditan rakyat syariah (BPRS). Dengan demikian hingga akhir 2004 tercatat ada 3 bank umum syariah, 15 UUS, dan 88 BPRS dengan jumlah kantor 443.
Mendapat lonjakan dana besar, perbankan syariah menyimpan dananya di Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI). SBI Wadiah berbeda dengan SBI yang dijadikan investasi oleh perbankan
konvensional. Jika SBI memakai suku bunga satu atau tiga bulanan, SBI Wadiah memakai sistem bagi hasil dengan pemberian "bonus" dari sejumlah dana yang ditanamkan perbankan syariah. "Mereka
akan menanamkan dananya di SWBI, sebelum menemukan celah berinvestasi yang menguntungkan seperti sektor perdagangan atau pembiayan konsumsi,"
Melihat data tersebut kita boleh optimistis ke depan bank syariah akan kian prospektif dan berkembang menyusul ''saudara tua''-nya, yakni bank-bank konvensional. Prospek dan perkembangan yang makin baik tersebut tidak lepas dari kebijakan Bank Indonesia (BI) yang secara konsisten mengimplementasikan inisiatif strategis sesuai dengan cetak biru pengembangan perbankan syariah. Hal ini terdorog juga dengan dikeluarkanya Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 16 Desember 2003 mengeluarkan fatwa bahwa bunga bank termasuk dalam kategori riba yang dikukuhkan pada 6 Januari 2004.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia MUI akan mempertegas kehadiran perbankan syariah bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas warga negaranya beragam Islam. Pengertian riba secara bahasa adalah
tambahan, namun yang dimaksud riba dalam ayat Al – Qur’an adalah setiap penambahan yang diambil tanpa adanya suatu transaksi pengganti atau penyeimbangan yang dibenarkan syariah.
Masyarakat umum yang dulunya masih tumpang tindih dengan pendapat masing–masing tentang bunga bank,sekarang bisa berpedoman terhadap Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).Seiring dengan meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan syariah ini, menuntut pihak bank untuk
provesiolalitas dalam pelaksanaanya dan mensosialisasikan produk produknya. Prinsip bagi hasil sebagai nafas dan jiwanya perbankan syariah perlu disosialisasikan dalam implementasi prodak prodak
perbankan syariah. Dalam pelaksanaanya bagi hasil ini dapat disalurkan dalam beberapa kerangka usaha, salah satunya adalah pembiayaan dengan prinsip mudhorobah. mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak,di mana pihak pertama menyediakan seluruh (100 persen) modal, sedangkan pihak lain
menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi, ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian tersebut
bukan akibat kelalaian di pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalian si pengelola, maka pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Dengan salah satu system bagi hasil penyaluran dana mudharabah.
No comments:
Post a Comment